Archive for the ‘Kajian’ Category

ORANG-ORANG YANG DIDOAKAN OLEH PARA MALAIKAT

oleh Salwa Fattah pada 14 Juni 2010 jam 19:27
1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci”.
(Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)

2. Orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia’”
(Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Muslim no. 469)

3. Orang – orang yang berada di shaf barisan depan di dalam shalat berjamaah.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang – orang) yang berada pada shaf – shaf terdepan”
(Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra’ bin ‘Azib ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130)

4. Orang – orang yang menyambung shaf pada sholat berjamaah
(tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalam shaf).
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang – orang yang menyambung shaf – shaf”
(Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272)

5. Para malaikat mengucapkan ‘Amin’ ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah.
Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang Imam membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalinn’, maka ucapkanlah oleh kalian ‘aamiin’, karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu”
(Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 782)

6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat.
Rasulullah SAW bersabda, “Para malaikat akan selalu bershalawat kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, ‘Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia”
(Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini)

7. Orang – orang yang melakukan shalat shubuh dan ‘ashar secara berjama’ah.
Rasulullah SAW bersabda, “Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ‘ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ‘ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?’, mereka menjawab, ‘Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat”
(Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)

8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan.
Rasulullah SAW bersabda, “Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan’”
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda’ ra., Shahih Muslim no. 2733)

9. Orang – orang yang berinfak.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak’. Dan lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit’”
(Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010)

10. Orang yang sedang makan sahur.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang – orang yang sedang makan sahur”
(Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519)

11. Orang yang sedang menjenguk orang sakit.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh”
(Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ra., Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkomentar, “Sanadnya shahih”)

12. Seseorang yang sedang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.
Rasulullah SAW bersabda, “Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain”
(Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily ra., dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343)

Sumber Tulisan Oleh : Syaikh Dr. Fadhl Ilahi (Orang – orang yang Didoakan Malaikat, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, Cetakan Pertama, Februari 2005

Hasil Copas

· · Bagikan

BAHAYA IKHTILAT,CAMPUR BAUR PRIA-WANITA

oleh Salwa Fattah pada 18 Juni 2010 jam 15:42
Sebatas pengetahuan saya sampai saat ini ulama yang paling terdahulu dalam membahas bahaya ikhtilat atau campur baur antara laki-laki dengan perempuan adalah Ibnul Qoyyim dalam bukunya al Thuruq al Hukmiyyah fi al Siyasah al Syar’iyyah tepatnya pada hal 407-408, sebagaimana dalam terbitan Mathba’ah al Madani Kairo. Berikut ini adalah kutipan perkataan beliau di buku tersebut.

ولا ريب أن تمكين النساء من اختلاطهن بالرجال أصل كل بلية وشر وهو من أعظم أسباب نزول العقوبات العامة كما أنه من أسباب فساد أمور العامة والخاصة

Ibnul Qayyim mengatakan, “Tidaklah diragukan bahwa memberi kesempatan kepada para perempuan untuk ikhtilat atau bercampur baur dengan para laki-laki adalah pangkal segala bala dan kejelekan. Ikhtilat itu termasuk sebab yang paling penting untuk turunnya hukuman Allah yang bersifat merata sebagaimana ikhtilat adalah di antara sebab kerusakan masyarakat dan individu.

واختلاط الرجال بالنساء سبب لكثرة الفواحش والزنا وهو من أسباب الموت العام والطواعين المتصلة

Ikhtilat para laki-laki dengan perempuan adalah sebab timbulnya berbagai tindakan keji dan perzinaan. Sedangkan zina adalah sebab banyaknya orang yang mati dan wabah penyakit yang silih berganti.

ولما اختلط البغايا بعسكر موسى وفشت فيهم الفاحشة أرسل الله عليهم الطاعون فمات في يوم واحد سبعون ألفا والقصة مشهورة في كتب التفاسير

Tatkala para pelacur bercampur baur dengan pasukan Nabi Musa sehingga maraklah perzinaan di tengah-tengah pasukan Musa maka Allah mengirimkan wabah penyakit yang menyebabkan dalam sehari terdapat tujuh puluh satu ribu orang yang meninggal dunia. Kisah ini sangat terkenal dalam berbagai buku tafsir.

فمن أعظم أسباب الموت العام كثرة الزنا بسبب تمكين النساء من اختلاطهن بالرجال والمشي بينهم متبرجات متجملات ولو علم أولياء الأمر ما في ذلك من فساد الدنيا والرعية قبل الدين لكانوا أشد شيء منعا لذلك

Di antara sebab terpenting banyaknya orang yang mati adalah merebaknya perzinaan. Sedangkan merebaknya perzinaan itu disebabkan para wanita diberi kesempatan untuk ber-ikhtilat dengan para laki-laki dan berjalan di antara para laki-laki dalam keadaan berdandan dan ber-tabarruj. Andai para penguasa memahami bahwa ikhtilat laki-laki dengan perempuan itu menyebabkan kerusakan dunia dan hancurnya kehidupan rakyat sebelum rusaknya agama tentu mereka akan melarang ikhtilat dengan sangat keras.

قال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه إذا ظهر الزنا في قرية أذن الله بهلاكها

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Jika zina telah merebak di suatu daerah maka Allah telah mengizinkan untuk menghancurkan daerah tersebut”.

وقال ابن أبي الدنيا حدثنا إبراهيم بن الأشعث حدثنا عبد الرحمن بن زيد العمى عن أبيه عن سعيد بن جبير عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ما طفف قوم كيلا ولا بخسوا ميزانا إلا منعهم الله عز و جل القطر ولا ظهر في قوم الزنا إلا ظهر فيهم الموت ولا ظهر في قوم عمل قوم لوط إلا ظهر فيهم الخسف وما ترك قوم الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر إلا لم ترفع أعمالهم ولم يسمع دعاؤهم

Ibnu Abi ad Dunya meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika banyak orang sudah curang dalam masalah takaran dan suka mengurangi timbangan maka Allah akan menahan hujan untuk mereka. Tidaklah zina merebak di suatu daerah kecuali di daerah tersebut akan banyak orang yang mati. Tidaklah homo marak di suatu tempat kecuali akan ada banyak orang yang Allah tenggelamkan ke dalam perut bumi. Jika orang-orang sudah tidak mau lagi melakukan amar ma’ruf nahi munkar maka amal shalih mereka tidak akan diangkat ke hadapan Allah dan doa mereka juga tidak akan di dengar”.

Artikel www.ustadzaris.com

· · Bagikan

Tunduk, tunduk!

oleh Salwa Fattah pada 29 Juli 2010 jam 19:09
“Katakanlah kepada lelaki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka lakukan.”
(an-Nur: 30)

Bukan lelaki sahaja yang diperintahkan menundukkan pandangan. Ayat seterusnya (an-Nur: 31) menyusul, memerintahkan wanita yang beriman juga agar menundukkan pandangan mereka.

Kenapa perlu tundukkan pandangan? Sudah tentu pertamanya kerana terang-terangan itu adalah perintah daripada Allah SWT kepada hamba-Nya seperti dalam ayat di atas. Juga disertai dengan hadis Nabi s.a.w.:

Nabi s.a.w. bersabda: “Wahai Ali! Jangan engkau ikuti pandangan pertama dengan pandangan kedua. Sesungguhnya milikmu adalah yang pertama dan yang kedua bukan milikmu.”
(Riwayat Ahmad)

Apa rasionalnya? Pandangan mata adalah perkara pertama yang perlu dijaga dan dikawal untuk mengelakkan perkara yang lebih buruk dan besar dosanya, iaitu zina. Siapa yang boleh menafikan kata-kata “Dari mata turun ke hati”? Apabila mata sudah seronok melihat, hati yang tidak dikawal juga mudah merelakan walaupun sebenarnya sudah membawa mudharat pada hati.

Daripada Abu Hurairah r.a., daripada Nabi s.a.w., baginda bersabda: Telah dituliskan (ditentukan Qadar) bahagian seorang manusia daripada penzinaan. Dia pasti mendapati ketentuannya itu, tanpa dielakkan lagi; zian kedua mata ialah memandang (perkara yang haram). Zina kedua telinga ialah mendengar (perkara yang haram). Zina lidah ialah bercakap (perkara yang haram). Zina tangan ialah memegang atau mengambil (secara tidak benar). Zina kaki ialah melangkah (ke tempat maksiat). Hati berkeinginan dan bercita-cita. Dan kemaluan akan membenarkan (melakukan zina) atau mendustakannnya (tidak melakukannya).
(Riwayat Bukhari dan Muslim)

Begitulah bahayanya pandangan mata yang tak terjaga. Siapa yang boleh menjamin kita terhindar daripada zina-zina yang disebutkan andai kita tidak menutup pintu masuk pertama ke arah penzinaan?

Salah seorang orang soleh pernah ditanya: Bagaimana caranya saya nak menundukkan pandangan? Beliau berkata: Caranya ialah dengan engkau mengetahui bahawa pandangan Allah kepada engkau lebih cepat daripada pandangan engkau kepada apa yang dipandang.

Sentiasalah merasai bahawa Allah sentiasa mengawasi kita walaupun pandangan kita hanya sekilas kepada apa yang dipandang. Hanya apabila memiliki perasaan ini, dan juga rasa takut kepada Allah SWT, kita tidak akan memandang kepada perkara yang diharamkan walaupun ketika kita bersendirian.

Ibnu Abbas berkata: “Seorang lelaki berada dalam kumpulan orang ramai. Lalu seorang perempuan melintas berhampiran mereka. Lelaki itu memperlihatkan kepada mereka kononnya dia telah menundukkan pandangannya daripada perempuan itu. Jika lelaki itu merasa bahawa mereka sedang leka, dia pun memandang perempuan itu. Jika dia bimbang mereka mengetahui gelagatnya, dia pun menundukkan pandangannya. Sedang Allah sebenarnya melihat hatinya bahawa dia telah memandang kepada aurat perempuan tersebut.”

Pernahkah terjadi situasi begini kepada kita?

Dalam usaha dan mujahadah kita untuk menjaga pandangan, saya melihat kepada dua perkara yang utama. Pertama, menundukkan pandangan daripada melihat perkara yang haram, dan kedua menundukkan hati di hadapan Allah SWT, lantaran merasakan kehadiran dan pengawasan Allah bersama kita sama ada ketika bersendirian ataupun di kalangan orang ramai. Apabila kedua-duanya digabungkan, menundukkan pandangan bukan lagi menjadi kesusahan pada kita tetapi menjadi suatu kebiasaan dan tindakan semulajadi tanpa perlu kepada paksaan.

Jagalah pandangan kita daripada meliar tidak tentu hala. Kita hanya akan merasa penat dan lelah saja di akhirnya andai pandangan tidak dijaga, kerana mata kita tidak akan terjangkau untuk melihat semua ‘keindahan’ yang ada di sekeliling kita. Dan sudah tentu dosa percuma saja yang kita dapat!

Posted by nasuha at 3:14:00 PM
Labels: Tazkirah dan Renungan
1 comments:
ed’sassin said…
betulll “)
June 25, 2010 8:17 AM
Post a Comment

Links to this post
Create a Link

http://alyaaquutwalmarjaan.blogspot.com/

· · Bagikan

Keutamaan Surah Al-Mulk

oleh Salwa Fattah pada 05 Agustus 2010 jam 1:21
Keutamaan Surah Al-Mulk

Daripada Ibnu Abbas r.a. katanya: Ada seorang lelaki dari sahabat Rasulullah s.a.w. membangunkan khemahnya di atas sebuah kubur, sedang dia tiada mengetahui pada tempat itu ada sebuah kubur. Rupa-rupanya kubur itu ialah sebuah kubur seorang lelaki yang selalu membaca surah al-Mulk(Tabarak), lalu dia pun mendatangi Rasulullah s.a.w. seraya berkata: Wahai Rasulullah! Aku telah membangunkan khemahku di atas sebuah kubur, aku tidak tahu di tempat itu ada kubur, tetapi rupa-rupanya kubur itu ialah kubur seorang yang selalu membaca surah al-Mulk hingga selesai. Maka berkata Nabi s.a.w.:

“Dialah(surah al-Mulk) suatu pendinding, dan dialah penyelamat yang menyelamatkan daripada siksa kubur.” (Riwayat Tarmizi-Hasan gharib)

Dan kami meriwayatkan daripada Abd bin Humaid, daripada Ibrahim bin Al-Hakam, daripadda ayahnya Ikrimah, daripada Ibnu Abbas r.a. yang berkata kepada seorang lelaki: Mahukah kau aku berikan suatu pesanan yang kau akan bergembira dengannya? Jawab lelaki itu: Berilah! Katanya: Baca surah Tabarak (al-Mulk), hafalkannya dan ajarkannya kepada isterimu, anak-anakmu, kaum keluargamu serta jiran-jiranmu, kerana dia itu adalah penyelamat dan pembela yang akan membela pembacanya di hadapan Tuhannya di hari kiamat, sambil memohon Tuhannya untuk menyelamatkannya dari siksa api neraka jika surah itu ada di dalam dadanya, dan Allah akan menyelamatkannya juga dari siksa kubur. Berkata Rasulullah s.a.w.: Aku suka sekali jika surah itu berada di dada setiap manusia dari umatku.

Berkata Abu Umar bin Abdul Bar suatu bicara yang sah datangnya daripada Rasulullah s.a.w. bahawasanya baginda telah berkata: Sesungguhnya ada sebuah surat yang jumlah ayatnya tiga puluh ayat telah memberi syafaat kepada tuannnya sehingga ia diampunkan, iaitu surah ‘Tabarak Al-Mulk’.

Sumber: Roh karya Ibnul Qayyim, diterjemah oleh Syed Ahmad Semait

Tentang surah al-Mulk ini, ada pelajaran berharga yang saya dapatkan ketika sempat merawat ibunda tercinta yang lagi sakit, kala itu ibu selalu minta dibacain surah al-mulk dan surah al-kahfi ketika hari jum’at dengan tujuan ingin ikut membacanya karena kondisi ibu yang sudah tidak bisa membaca sendiri jadi beliau ingin ada yang melafalkan dan beliau mengikutinya. Ketika menjelang kematiaanya pun beliau sempat tidak sadar selama 2 hari dan ketika tersadar kembali beliau minta dibacaiin surah almulk dan beliau pun ikut. Saat pemakaman yang cuaca itu lagi cerah dan panas-panasnya, ba’da dibacakannya do’a untuk ibu dan orang-orang bubar tiba-tiba mendung dan hujan gerimis pun turun…seolah-olah bumi ingin menyejukkan kuburan ibu…dalam hati alhamdulillah semoga ini tanda-tanda husnul khotimah dan berbagai tanda-tanda lainnnya yang tidak bisa saya ungkapkan. Saya pun sejak itu berusaha untuk bisa konsisten membaca surah al-mulk setiap malam dan membaca surah alkahfi di hari jum’at dengan harapan bisa mendapatkan keutamaan 2 surah tersebut. Terkadang sesuatu amalan baru terasa keutamaannya setelah menyaksikan sendiri orang-orang yang telah mendapatkan keutamaan tersebut…dahulunya saya telah mengetahui keutamaan dua surah ini namun kesungguhan untuk membacanya masih kurang, semoga Allah memberi keistiqomahan untuk bisa mengamalkan 2 keutamaan surah ini juga berbagai keutamaan lainnya.aamin

· · Bagikan

Ash Shiddiq(3)

Kejujuran

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ

Kamu harus selalu jujur, maka sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan…”

Jujur dalam arti sempit adalah sesuainya ucapan lisan dengan kenyataan. Dan dalam pengertian yang lebih umum adalah sesuainya lahir dan batin. Maka orang yang jujur bersama Allah I dan bersama manusia adalah yang sesuai lahir dan batinnya. Karena itulah, orang munafik disebutkan sebagai kebalikan orang yang jujur, firman Allah I:

لِّيَجْزِيَ اللهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ

Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik… (QS. Al-Ahzab:24)

Dan jujur adalah konsekuensi terhadap janji seperti firman Allah I:

مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَاعَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ

Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah; (QS. Al-Ahzab:23)

Dan kejujuran itu sendiri dengan berbagai pengertiannya membutuhkan keikhlasan kepada Allah I dan mengamalkan perjanjian yang diletakkan oleh Allah I di pundak setiap muslim, firman Allah I:

وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا . لِّيَسْئَلَ الصَّادِقِينَ عَن صِدْقِهِمْ

Dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh,  agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka…(QS. Al-Ahzab:7-8)

Maka apabila orang-orang yang benar (jujur) akan ditanya, maka bagaimana pertanyaan dan hisab bagi orang-orang yang berdusta dan munafik?

Jujur termasuk akhlak utama yang terbagi menjadi beberapa bagian. Al-Harits al-Muhasibi rahimahullah berkata: ‘Ketahuilah  -semoga Allah I memberi rahmat kepadamu- sesungguhnya jujur dan ikhlas adalah pondasi segala sesuatu. Maka dari sifat jujur, tercabang beberapa sifat, seperti: sabar, qana’ah, zuhud, dan ridha. Dan dari sifat ikhlas tercabanglah beberapa sifat, seperti: yakin, khauf (takut), mahabbah (cinta), ijlal (membesarkan), haya` (malu), dan ta’dzim (pengagungan). Jujur terdiri dari tiga bagian yang tidak sempurna kecuali dengannya: 1) Kejujuran hati dengan iman secara benar, 2) Niat yang benar dalam perbuatan, 3) Kata-kata yang benar dalam ucapan.[1]

Dan tatkala kejujuran mempunyai ikatan kuat dengan iman, maka Rasulullah r memaafkan (memakluminya) terjadinya sifat yang tidak terpuji dari seorang mukmin, namun beliau menolak bahwa seorang mukmin terjerumus dalam kebohongan, karena sangat jauhnya hal itu dari seorang mukmin. Para sahabat pernah bertanya:

يَارَسُوْلَ اللهِ, أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ جَبَّانًا؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقِيْلَ لَهُ: أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ بَخِيْلاً؟ قَالَ: نَعَمْ. قِيْلَ لَهُ:  أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا؟ قَالَ: لاَ.

“Ya Rasulullah, apakah orang beriman ada yang penakut? Beliau menjawab,’Ya.’ Maka ada yang bertanya kepada beliau, ‘Apakah orang beriman ada yang bakhil (pelit, kikir).’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Ada lagi yang bertanya, ‘Apakah ada orang beriman yang pendusta?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’[2]

Dasar pada lisan adalah memelihara dan menjaga, karena ketergelincirannya sangat banyak dan kejahatannya tak terhingga. Maka waspada darinya dan berhati-hati dalam menggunakannya adalah lebih taqwa dan lebih wara`. Maka apabila engkau menemukan seseorang yang tidak perduli terhadap omongannya dan banyak bicara, maka ketahuilah sesungguhnya ia berada di atas bahaya besar. Rasulullah r bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Cukuplah seseorang dipandang berdusta bahwa ia membicarakan semua yang didengarnya.”[3]

Karena banyak bicara merupakan tempat terjerumus dalam kebohongan dengan menceritakan sesuatu yang tidak pernah terjadi, saat ia tidak mendapatkan pembicaraan, atau dengan mengutip berita seseorang yang pendusta –sedangkan dia mengetahui-, maka ia termasuk salah seorang pembohong.

Setiap akhlak yang baik, bisa diusahakan dengan membiasakannya dan bersungguh-sungguh menekuninya, serta berusaha mengamalkannya, sehingga pelakunya mencapai kedudukan yang tinggi, naik dari tingkatan pertama kepada yang lebih tinggi darinya dengan akhlaknya yang baik. Karena itulah, Rasulullah r bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ. وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا

Kamu harus selalu bersifat jujur, maka sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan membawa ke surga. Dan senantiasa seseorang bersifat jujur dan menjaqa kejujuran, sehingga ia ditulis di sisi Allah I sebagai orang yang jujur.”

Demikian pula perkara pembohong yang terjatuh, sehingga ia dipatri dengan kebohongan.:

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ, وَمَايَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

Jauhilah kebohongan, maka sesungguhnya kebohongan membawa kepada kefasikan, dan sesungguhnya kefasikan membawa ke neraka. Senantiasa seseorang berbohong, dan mencari-cari kebohongan, sehingga ia ditulis di sisi Allah I sebagai pembohong.”[4]

Di antara pengaruh kejujuran adalah teguhnya pendirian, kuatnya hati, dan jelasnya persoalan, yang memberikan ketenangan kepada pendengar. Dan di antara tanda dusta adalah ragu-ragu, gagap, bingung, dan bertentangan, yang membuat pendengar merasa ragu dan tidak tenang. Dan karena itulah:

فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَالْكَذِبَ رِيْبَةٌ

Maka sesungguhnya jujur adalah ketenangan dan bohong adalah keraguan.”[5] Sebagaimana disebutkan dalam hadits.

Kesudahan jujur adalah kebaikan –sekalipun yang berbicara menduga terjadi keburukan, firman Allah I:

فَلَوْ صَدَقُوا اللهَ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ

Tetapi jikalau mereka benar (imannya) tehadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. (QS. Muhammad :21)

Dan dalam cerita taubatnya Ka’ab bin Malik t, Ka’ab t berkata kepada Rasulullah r setelah turunnya ayat yang menjelaskan bahwa Allah I menerima taubat tiga orang yang ketinggalan dalam perang Tabuk: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah I menyelamatkan aku dengan kejujuran, dan sesungguhnya termasuk taubatku bahwa aku tidak akan berbicara kecuali yang benar selama hidupku.” Dan ia berkata pula: ‘Maka demi Allah I, Allah I tidak pernah memberikan nikmat kepadaku selamanya, setelah memberikan petunjuk Islam kepadaku, yang lebih besar dalam diriku daripada kejujuranku kepada Rasulullah r, bahwa aku tidak berbohong kepadanya r, lalu (kalau aku berbohong) aku menjadi binasa sebagaimana binasanya orang-orang yang berdusta…’[6]

Ibnu al-Jauzi rahimahullah meriwayatkan dalam manaqib (riwayat hidup) Imam Ahmad, sesungguhnya dikatakan kepadanya: ‘Bagaimana engkau bisa selamat dari pedang khalifah al-Mu’tashim dan cambuk khalifah al-Qatsiq? Maka ia menjawab, ‘Jikalau kebenaran diletakkan di atas luka, niscaya luka itu menjadi sembuh.’[7] Dan pada hari kiamat, dikatakan kepada manusia:

هَذَا يَوْمُ يَنفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ

Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. …”. (QS. Al-Maidah :119)

Kejujuran membawa pelakunya bersikap berani, karena ia kokoh tidak lentur, dan karena ia berpegang teguh tidak ragu-ragu. Karena itu disebutkan dalam salah satu definisi jujur adalah: berkata benar di tempat yang membinasakan.[8] Dan al-Junaidi rahimahullah mengungkapkan hal itu dengan ucapannya: Hakekat jujur adalah bahwa engkau jujur di tempat yang tidak bisa menyelamatkan engkau darinya kecuali bohong.’[9]

Berapa banyak orang yang suka membual menjadi celaka dalam membuat-buat pembicaraan untuk menarik perhatian, dan dalam membuat cerita untuk membuat orang-orang tertawa. Lalu mereka kembali dengan perasaan senang dan ia kembali dengan dosa berbohong. Maka ia menjadi binasa, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِاْلحَدِيْثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ, فَيَكْذِب, وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ.

Celaka bagi orang yang berbicara untuk membuat orang-orang tertawa, lalu ia berbohong, celakalah baginya, celakalah baginya.”[10]

Sesungguhnya dusta yang paling berat dan paling besar dosanya adalah berbohong kepada Allah I dan Rasul-Nya, ia menyandarkan kepada agama Allah I yang bukan darinya, dan mengaku dalam syari’at yang dia tidak mengetahui, membuat nash-nash yang tidak ada dasarnya –ia melakukan hal itu karena menghendaki kebaikan atau keburukan-, hal itu merupakan dusta yang sangat jahat terhadap agama Allah I.

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ, فَمَنْ كَذبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا  فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Sesungguhnya berdusta terhadapku bukan seperti berdusta terhadap orang lain, maka barangsiapa yang berdusta secara sengaja terhadapku, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka.[11]

Karena alasan itulah, sebagian sahabat merasa khawatir meriwayatkan hadits Rasulullah r terlalu banyak, karena takut terjatuh dalam kesalahan yang tidak disengaja, berarti mereka menyandarkan kepada Rasulullah r yang tidak pernah beliau katakan. Dan termasuk hal itu adalah Anas bin Malik t ketika ia berkata: ‘Sesungguhnya menghalangi aku meriwayatkan hadits terlalu banyak, sesungguhnya Nabi r bersabda:

مَنْ تَعَمَّدَ عَلَىَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa yang sengaja berbohong kepadaku, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka.’[12]

Dan termasuk perkara yang menunjukkan tambahan kehati-hatian mereka dalam mengutip hadits Rasulullah r bahwa mereka tidak menambah dan tidak mengurangi. Pendirian itulah yang diriwayatkan oleh Muslim, ketika Busyair al-‘Adawi meriwayatkan hadits di hadapan Ibnu Abbas t, dan Ibnu Abbas t tidak memperdulikannya, tidak memperhatikannya dan tidak memandang kepadanya. Maka Busyair berkata, ‘Wahai Ibnu Abbas, kenapa engkau tidak mendengarkan pembicaraanku, aku menceritakan kepada engkau tentang Rasulullah r dan engkau tidak mendengarkan? Ibnu Abbas t berkata, ‘Sesungguhnya kami, apabila mendengar seseorang berkata, ‘Rasulullah r bersabda,’ pandangan kami langsung serius dan kami memperhatikannya dengan pendengarannya. Maka tatkala manusia menaiki kesusahan dan kemudahan (menganggap enteng persoalan hadits, wallau a’lam), kami tidak mengambil dari manusia kecuali yang kami kenal.”[13] Maksudnya, tatkala manusia berbicara dalam perkara-perkara yang susah dan mudah, tidak perduli, dan tidak berhati-hati dari terjatuh dalam kesalahan, kami menjadi berhati-hati mengambil ilmu dari manapun jua.

Hendaklah berhati-hati orang-orang yang terburu-buru dalam berfatwa tanpa ilmu dari berbohong terhadap agama Allah I. Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits munkar dan maudhu’ dari keikutsertaan berbohong terhadap Rasulullah r. Sungguh ucapan seseorang: aku tidak tahu –sekalipun berat terhadap nafsunya- lebih mudah baginya daripada berbohong kepada Rasulullah r.

Dan supaya semua hidupmu menjadi benar, dihasyar (digiring pada hari kiamat) bersama orang-orang jujur, maka jadikanlah tempat masukmu benar dan tempat keluarmu benar, jadikanlah lisanmu lisan yang benar. Semoga Allah I memberikan rizqi kepadamu langkah yang benar dan tempat yang benar. Maka jujur adalah ketegasan dan keterusterangan dan berpaling darinya adalah penyimpangan, dan keadaan orang yang beriman adalah jujur, dan:

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لا َيُؤْمِنُونَ بِئَايَاتِ اللهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ

Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta. (QS. An-Nahl :105)

Kesimpulan:

1.      Sekurang-kurang benar adalah benar lisan, dan yang lebih umum darinya adalah benar bersama Allah I secara lahir batin.

2.      Tidak ada kejujuran kecuali dengan ikhlas.

3.      Kejujuran terkait dengan iman.

4.      Orang yang membicarakan segala yang didengar terkadang jauh dari kebenaran.

5.      Jujur bisa diperoleh dengan usaha.

6.      Di antara pengaruh jujur adalah ketenangan dan teguhnya hati.

7.      Jujur adalah keselamatan, sekalipun yang berbicara menduga adanya keburukan.

8.      Orang yang jujur adalah berani dan orang yang bohong tergagap.

9.      Bohong terbesar adalah bohong terhadap Allah I dan Rasul-Nya r.

10.   Para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, karena khawatir terjatuh dalam kebohongan.


[1] Risalah al-Murtarsyidin hal. 170.

[2] HR. Malik dalam al-Muwaththa` 2/990 secara mursal dalam ucapan…dan ia termasuk hadits hasan mursal (Jami’ al-Ushul 10/598, hadits no. 8183.

[3] HR. Muslim dan Abu Daud (Jami’ al-Ushul 10/600, no. 8189.

[4] HR. al-Bukhari, Muslim, al-Muwaththa`, Abu Daud, dan at-Tirmidzi, dan ini adalah lafazhnya (Jami’ al-Ushul 6/442, hadits no. 4641.

[5] HR. at-Tirmidzi dengan lafazhnya, dan isnadnya shahih (Jami’ al-Ushul 6/442 no.4642).

[6] Shahih al-Bukhari, kitab al-Maghazi (peperangan), bab ke-79, no. 4418.

[7] Dari hasyiyah Risalah al-Mustarsyidin, tahqiq Syaikh Abu Ghuddah hal. 72.

[8] Tahzhib Madarijus salikin hal. 399.

[9] Tahdzhib Madarijus salikin hal. 401.

[10] HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi, isnadnya hasan (Jami’ al-Ushul 10/599 no.8186).

[11] HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi (Jami’ al-Ushul 10/611. no.8206).

[12] HR. Muslim dan at-Tirmidzi (Jami’ al-Ushul 10/610, no. 8204).

[13] HR. Muslim dalam Muqaddimah ash-Shahih hal 13 (Jami’ al-Ushul 10/612 no. 8208).

[1] Risalah al-Murtarsyidin hal. 170.

[1]  HR. Malik dalam al-Muwaththa` 2/990 secara mursal dalam ucapan…dan ia termasuk hadits hasan mursal (Jami’ al-Ushul 10/598, hadits no. 8183.

[1] HR. Muslim dan Abu Daud (Jami’ al-Ushul 10/600, no. 8189.

[1]  HR. al-Bukhari, Muslim, al-Muwaththa`, Abu Daud, dan at-Tirmidzi, dan ini adalah lafazhnya (Jami’ al-Ushul 6/442, hadits no. 4641.

[1]  HR. at-Tirmidzi dengan lafazhnya, dan isnadnya shahih (Jami’ al-Ushul 6/442 no.4642).

[1]  Shahih al-Bukhari, kitab al-Maghazi (peperangan), bab ke-79, no. 4418.

[1]   Dari hasyiyah Risalah al-Mustarsyidin, tahqiq Syaikh Abu Ghuddah hal. 72.

[1]  Tahzhib Madarijus salikin hal. 399.

[1]  Tahdzhib Madarijus salikin hal. 401.

[1] HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi, isnadnya hasan (Jami’ al-Ushul 10/599 no.8186).

[1]  HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi (Jami’ al-Ushul 10/611. no.8206).

[1]  HR. Muslim dan at-Tirmidzi (Jami’ al-Ushul 10/610, no. 8204).

[1]  HR. Muslim dalam Muqaddimah ash-Shahih hal 13 (Jami’ al-Ushul 10/612 no. 8208).